MAKALA SEJARAH NASIONAL INDONESIA 3
PELAYARAN DAN PERDAGANGAN
Di Susun Oleh Kelompok 4 :
Nama : 1. Agi Distrianto (2012 131 )
2.Baiti
Utami (2012 131 )
4.Susilawati
(2012 131 )
5.
Inggih Kasih (2012 131
6.
Ija Miswati (2012 131 )
7.
Ayu Srirejeki (2012 131 037)
8.
Sudarsih (2012 131 )
Kelas : 3 A
Mata Kuliah : Sejarah Nasional Indonesia 3
Mata Kuliah : Sejarah Nasional Indonesia 3
Prodi : Pendidikan Sejarah
Dosen
Pengasuh : Dra.
Nelly Ermarita, M.Pd
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2012/2013
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................................. ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Tekhnologi dan Pusat-pusat Pelayaran................................................... 2
B.
Pola Pelayaran dan Perdagangan............................................................ 8
C.
Pelabuhan............................................................................................... 17
BAB 3 PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... 24
B.
Saran..................................................................................................... 24
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 25
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa Kita telah lama dikenal sebagai pelaut yang
ulung . Hal ini tercermin dari nenek moyang
ketika datang ke Nusantara . Mereka pun menggunakan kapal yang beragam
dari yang bentuk sederhana sampai yang bentuknya besar yang mampu menampung
puluhan orang .
Sayangnya kehebatan nenek moyang Kita sekarang hanya
menjadi cerita dongeng pengantar tidur . Generasi muda kita seakan lupa dengan
identitas Kita sebagai negara maritim . Hal ini sungguh ironis para anak muda
telah terbuai oleh candu bernama teknologi .
Kemajuan kapal dan perdagangan pun tak lepas dari
peran para pedagang yang memodifikasi kapal mereka sehingga para pedagang asing
maupun lokal berlomba lomba menciptakan kapal yang menguntungkan mereka . Hal
ini mempengaruhi kemajuan teknologi kapal pada masa itu sehingga daerah
Indonesia menjadi ramai karena adanya perdagangan .
Dari masalah diatas kami mengambil judul makalah ini
untuk lebih menjelaskan tentang pelayaran dan perdagangan . Kami juga ingin
agar para generasi muda setelah membaca makalah kami dapat mencintai dan
mengagumi sejarah tentang nenek moyang Kita yang dikenal sebagai pelaut ulung .
Kisahnya sampai termahsyur keseluruh dunia dan tidak tergerus kemajuan zaman .
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
Teknologi dan Pusat Pusat Pedagangan ?
2. Bagaimanakah
Pola Pelayaran dan Perdagangan ?
3. Apakah
pelabuhan dan funsinya ?
BAB II
PEMBAHASAN
PELAYARAN DAN
PERDAGANGAN
A.
Teknologi dan Pusat
Pusat Pelayaran
1.
Sistem Angin Untuk
Pelayaran
Berabad-abad lamanya kerajaan –kerajan kecil yang
terpencar letaknya d pulau-pulau Indonesia secara ekonomis dan kulturil juga
sewaktu-waktu secara politis telah tergabung atau digabungkan dalam
satuan-satuan yang lebih besar. Dalam hal ini lalu lintas antara kepuluan
Indonesia memungkinkan penduduknya telah mengalami perkembangan suatu jaringan
hubungan yang lebih baik. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi kapal dan
keahlian navigasi serta suatu “enterprising spirit” yang besar. Kegiatan di
laut yang dominan dalam kehidupan bangsa kita di masa lampau tercermin dalam
sebutan “zaman bahari”
Bahasa kita juga kaya akan kata – kata untuk
membedakan untuk berbagai macam angin. Untuk angin yang berpusing-pusing kita
katakan angin langkisan, angin putting beliung atau angin puyuh sedangkan untuk
angin yang bertiup keras ada angin gunung, angin toufan atau angin rebut. Angin
yang sedang disebut angin sendalu dan yang terakhir angin yang bertiup pada
dinihari disebut angin pengarak pagi.
Beberapa jenis angin jelas berasal dari dunia
maritim. Angin haluan dan angin buritan menunjukkan dari pada arah angin itu
datang jika sedang berlayar. Angin turutan yang keras adalah angin sorong
buritan. Angin sacral yang datang dari depan tentu mengahalangi pelayaran,
sedangkan angin paksa justru memaksa orang membongkar sauh.
Kita membuat perbedaan antara negri-negri diatas
angin (india, arab, iran, negri-negri eropa dan magrib). Negri-negri dibawah
angin yang terletak disebelah timur. Angin berputar ombak bersambung adalah
pepatah terkenal kalau suatu perkara sukar dipecahkan.
Pengetahuan tentang angin barat dan angin laut
adalah pengetahuan penting bagi para nelayan, karena dengan demikian mereka
bisa memanfaatkan angin bilmau berlayar keluar pada pagi hari dan pulang
kampung pada sore harinya. Taraf yang lebih maju kemampuan untuk menggunakan
angin musim yang menguasai kepulauan kita. Di malaka kapal-kapal bertemu dan
menunggu angin yang baik untuk meneruskan perjalanannya atau kembali ke negri
asal.
Sedangkan kemampuan kapal-kapal kita telah mengalami
kemajuan yang agak besar. Meskipun dari sumber-sumber asli agak sukar kita
mendapat keterangan tentang kemampuan
pada zaman itu. Pada umumnya berita-berita tidak member data yang tepat,
walaupun ada beberapa pengecualian. Ketika hang tuah diutus malaka ketanah
keeling dikatakan bahwa “setelah 7 hari 7 malam berlayar, maka laksamana
berkata pada mualim hai panglima kami,
sehari semalam lagi berlayar maka kita bertenu pada sebuah pulau. 3 hari 3
malam lagi,maka sampailah ke kuala benua keeling. jadi seluruh perjalanan
memakn 18 hari suatu hal yang masuk akal. Namun tidak semua berita memberikan
keterangan seperti ini.
Sebenarnya sumber-sumber barat dapat
digunakan untuk mempelajari kemampuan navigasi dan mualim-mualim kita. Sebab
kapl-kapal eropa yang pertama kali masuk di perairan Indonesia menggunakan
mualim setempat untuk mengantarkan ketempat tujuan. Misalnya ekspedisi magelan (1521)
dan ekspedisi kornelis de Houtmen.
Jadi keterangan pelaut-pelaut
belanda dari abad ke 17 yang mengatakan bahwa kapal – kapal pribumi tidak
mempergunakan kompas belum berarti alat ini tidak dikenal.laksmana Steven Van
der Haghen membawa berapa ratus kompas dan menjualnya ketika berada di
Indonesia tapi rupanya tidak ada yang memperlukannya sehinga harus
mengembalikannya ke negri belanda karena tidak laku. Dari hal diatas kita dapat
memperoleh gambaran bahwa sebenarnya kompas telah di kenal pada zaman itu.
Keadaan iklim memungkinkan mencari
posisinya pada pulau-pulau gunung-gunung dan tanjung-tanjung jika berlayar
menyusuri pantai dan pada malam hari menggunakan bintang-bintang dilangit yang
cerah untuk menentukan tempatnya ditengah laut. Jadi masin-masing suku bangsa
telah mengembngkan budaya maritimnya menurut arah selera dan daya ciptanya
sendiri.
2. Jenis
Kapal dan Tempat-tempat Pembuatannya
Kapal-kapal
dan perahu Indonesia pada zaman yang dibicarakan disini, yakni sebelim
kapal-api diketemukan, dapat kita bagi
dalam dua kelompok besar berdasarkan tekhnik pembuatannya. Dengan
melihatb bentuk lunas kapal, kita bisa mengadakan pembedaan antara “kapal
lesung” dan “kapal papan”. Lunas daripada bagian dalamnya seperti lesung, dalam
bentuk yang memanjang.
Bentuk
kapal-kapal demikian adalah bentuk yang paling sederhana pasti lebih tua dari
bentuk kapal papan, daerah penemuannya tidak hanya terbatas pada daerah budaya
Asia Tenggara. Pada tahun 1928 jenis kapal lesung ini masih di lihat di danau
Mondsee (Australia) dan pengalian-penggalian di negeri belanda membuktikan
bahwa sampan-sampan juga di kenal di sini pada zaman purbakala.
Untuk
memperbesar kapasitas muatannya maka pinggiran kapal di tinggikan ada yang
mempunyai katir atau cadik, baik yang tunggal maupun yang ditempatkan sebelah
menyembelah kapal menjaga keseimbangannya. Untuk memfaatkan tenaga agin kalau
berlayar, maka kapal-kapal ini mempunyai tiang satu, dua atau lebih untuk
tempat memasang layarnya.
Sumber-sumber
sejarah tentang kemajuan tekhnik perkapalan indonesia hampir tidak ada,
sehingga sukar bagi kita untuk merekontruksikan sejarah perkembangan perkapalan
indonesia. Pada zaman prasejarah rupa-rupanya sampan sudah di kenal di samping
rakit yang di buat dari bambu dengan atau tanpa lantai papan di atasnya. Di
antara lukisan prehistoris yang terdapat pada dinding gua atau batu karang
(a.l. Ohoidertawun di pulau kei Kecil) terdapat gambar sampan, walaupun tidak
jelas bentuknya. Juga sukar untuk menentukan jenis perahu yang terdapat pada
hiasan nekara perunggu.
tetapi
perkembangan puluhan abad dari zaman batu dan perunggu sampai pada abad ke 8
sudah demikian jauhnya, sehingga pada zaman indonesia-hindu sudah kita kenal berbagai jenis kapal. Di
borobudur tidak kurang dari sepuluh relief perahu atau kapal, yang dapat kita
golongkan dalam 3 jenis :
a. Perahu lesung
b.
kapal besar yang tidak bercadik
c.
mempunyai cadik.
Mengenal
zaman ini berita perkapalan kurang sekali beberapa tahun yang lalu (1971)
sebuah naskah portugis tentang sejarah maluku yang mungkin di tulis oleh
antonio Galvao kira-kira tahun 1544 di terbitkan oleh H. Jascobs, S.J. Di
dalamnya menemukan suatu uraian tentang cara orang di maluku (utara) membuat
kapal. Menurut Galvao, kapalnya di buat dengan cara demikian: bebtuk di tengah-tengah
kapal menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua ujungnya melengkung ke atas
dengan demikian kapal dapat berlayar maju maupun dapat mundur. Kapal
Naskah
ini melanjutkan: bilamana kapal telah selesai di taruhnya melintang dari
lambung ke lambung 10 atau 12 balok yang di kerjakan baik-baik. Balok0balok ini
berfungsi sebagai penunjang seperti kapal balai yang di sebut ngaju dan di
letakkan baik-baik sampai tidak goyah lagi. Pada ujung sekali dari ngaju ini
terdapat beberapa kayu bercabang, di sebut pagu, sebagai tempat mengikat bambu
lain yang lebih besar dan lebih panjang bambu ini di beri nama samah
(semah-semah, nama setempat untuk cadik), untuk menunjang kapal oleng.
Pada
bagian ngaju yang terdapat di bagian kapal, demikianlah naskah portugis ini
merupakan uraiannya, di buat sebuah lantai dari rotan yang di belah 2, semacam
tingkat atas atau geladak, yang di namakan baileo. Kapal portugis di baileo di
buatkan bilik-bilik seperti toldo dan konpes yaotu di bagian kapal portugis
dulu khusus untuk perwira dan pembesar dan perwira. Para kalano (raja-raja
maluku utara) menempatinnya ”berbaring atau berbalik tempat untuk kaptem,
menteri, dan tentara bersenjata. Mereka ini di sebut “orang-baileo” .
Kata
naskah ini, sementara sang raja dan kapten-kapten bersama menteri berlayar di
atas baileo, putra mereka yang masih kanak-kanak diletakkan di bawah. Menurut
sumber yang sama di maluku terdapat jenis-jenis kapal. Yang terpenting bernama
juanga yang menyerupai galai raja (“guales reaes”). Adapula kapal-kapal lain
yang bernama juanga yang menyerupai gali kafunu, kora-kora, kalulus, dan perahu
kecil. Semuanya di gerakkan dari dayung dan tidak di pakai untuk menganggkut
muatan.
Kapal
lakafunu hampir serupa dengan juanga. Untuk kapal ini di pilih oleh yang paling
kuat (mais esforcandos). Baik untuk mengayuh atau untuk menempati baleo. Kapal
lain yang juga menyerupai galai adalah comanomi dan kora-kora. Semua jenis
kapal tersebut di atas mempunyai cangahala dan mempunyai cadik sebelah
menyebelah kapal, yang tidak bercadik di sebut kalulus dan memuat 20-50
pengayuh sedangkan baleonya bisa berjumlah 10-20 orang. Selain itu ada pula
perahu nelayan, bernama myenyan 3-12 pengayuh. Sumber portugis ini tidak juga
mengatakan bahwa ada pula kapal khusus untuk muatan (“caravaloes de cargua”)
yang di sebut campana.
Kedatangan
kapal-kapal portugis di perairan indonesia akibat besar, bukan hanya dalam
bidang politik dan ekonomi melainkan dalam hal tekhnologi perkapalan pribumi.
Ada pengaruh timbal balik dalam pengetahuan naviga orang-orang pribumi dan
portugis. Demikian pula dalam perubahan pembuatan kapal. Sumber-sumber kita
tidak banyak memberi keterangan perlu di adakan penelitian yang mendalam untuk
mengetahui tekhnik perkapalan. Banyak orang portugis yang meninggalkan pekerjaanya
dan menawarkan tenaganya kepada raja-raja pribumi. Di banten Mataram, Makassar,
Aceh dll tempat di asia tenggara orang-orang portugis bekerja sebagai penasehat
dalam pembangunan istana kota, dan lainnya. Seperti yang di berikan oleh Van
Linschoten pada akhir abad ke 16 menurut catatanya di daerah sekitar selat
malaka beberapa orang portugis di katakan telah berhianat telah menawarkan
jasa-jasanya kepada raja-raja pribumi dan mengajarkan tekhnik membuat kapal
jenis eropa.
Kapal
perang banten menurut kesaksian william lodwycksz yang mengikuti ekspedisi
belanda pertama di bawah pimpinan cornelius de houtman, menyerupai kapal balai
dengan 2 tiang layar. Keistimewaanya adalah serambi yang sempit, merupakan
emperan yang mengikuti bagian guritan kapal. Ruangan bawahnya di pakai para
budak dan pengayuh.
Lodwycksz
juga mencatat bahwa ada perahu yang mempunyai cadik dan ada juga yang tidak
bercadik dan keduanya di pakai untuk mengadakan patrolli di laut. Mereka ini
bertugas untuk menjaga keamanan di laut. Mereka ini bertugas untuk menjaga
keamanan laut, juga menjegah apabila ada barang-barang yang keluar tanpa
membayar cukai. Kapal-kapal ini mempunyai atap, seperti kapal yang dipakai
untuk bersenang-senang (speelbarken).
Kronik-kronik
dari makasar dan bugis mungkin sekali bisa melengkapi data tentang perkembangan
teknologi maritim Sulawesi Selatan. Noorduyu memberitahukan bahwa dalam lontara
bilang (mks) atau surebilang(bugis) juga disebut peristiwa-peristiwa penting
mengenai kapal, adat istiadatdan alat-alat pertanian. Dalam hal ini,
data-datanya perlu diuji dengan membandingkanya dengan sumber lain: kita dapat
menerima begitu saja keterangan yang diberikan, misalnyakapal pertama di buat
pada tahun 1303 ubtuk pertama kalinya dan pada tahun 1380 meriam dibuat untuk
pertama kalinya, membuat kita bertanya orang-orang mana sajakah yang
dimaksudkan dalam berita tersebut. Apakah dibawa oleh orang majapahit, malaka,
orang keling, atau orang bugid dan makasar sendiri ataukah orang sang galea
(dimanila dikenal sebagai sangley)
yaitu nama yang diberikan kepaa orang cina di Sulawesi Selatan.
Keterangan
Cense bahwa diantara data yang di catat dalam lontara bilang tersebut ada angka
1187 yaitu tahun Jarussalem (Darussalam) jatuh ketangan muslim yang memang
sesuai dengan fakta sebenarnya (penduduk saladdin), Sedangakan data dengan
kontak pegawai kompeni belanda (VOC) dibenarkan dari sumber-sumber belanda
sendiri.
Menurut
Suma Oriental, pada awal abat ke-16 Pasai belum mempunyai industri galangan
kapal sendiri. Kemudian diberitakan bahwa ketika Sultan Mansyur (malaka) hendak
berlayar ke mekkah, beliau menggunakan kapal-kapal yang dibuat di Pegu dan Jawa
jadi orang-orang portugis sudah mengenal Jawa sebagai penghasil kapal-kapal
besar yang mampu berlayar ke negeri Arab.
Ada lanjutan ayu
3. Jalan
dan Pusat Pusat Perdagangan
Ketika pada tahun 1521 Sebastian del Cano berangkat
Tidore dan tiba kembali di Sevilla, Maka sebuah jalan laut baru telah dirintis
yang menhubungkan Indonesia (Maluku) dengan Eropa Barat . Del Cano berlayar
dari Tidore ke Selatan dan sesudah mampir sebentar di Timor , Kapalnya
dikemudikan ke arah barat daya menyebrang Samudra Indonesia ke ujung selatan
afrika lalu kelaut atlantik sampai ke muara sungai Guadalquivir d leiberia
selatan. Dengan demikian untuk pertama kalinya rempah-rempah dari Maluku
diangkut langsung ke eropa.
Sebelumnya rempah-rempah Maluku ini yang terdiri
dari pala dan cengkeh, harus menempuh jaln yang berthap-tahap dan memakan waktu
yang lama untuk sampai dipasaran eropa. Dahulu rempah-rempah tersebut di angkut
dari Maluku utara ke hitu dan banda kemudian di angkut pula ke
pelabuhan-pelabuhan pesisir jawa, pantai timur Sumatra dan selat malaka. Pada
abad ke 15 malaka berhasil menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan pada
saat itu.
Lebih kebarat perjalanan laut melintasi laut arab
danber cabang dua yang pertama di sebelah utara menuju ke teluk oman melalui
keselat hormus ke teluk Persia. Jalan kedua melalui teluk aden dan laut merah
dari kota suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke kairo dan iskandaria.
Disini kekusaan berada di tangan-tangan raja mameluk yang mempunyai imperium
besar meliputi surya dan tanah hejaz. Jadi jalan-jalan rempah melalui teluk
Persia akhirnya harus melalui mameluk dimana alepo merupakan pusat pedagangan
penting.
Melalui jalan pelayaran tersebut di atas kapal-kapal
arab, Persia dan india telah mondar mandir dari barat ketimur dan trus ke negri
cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya.
Waluapun muatan yang di angkut portugis melalui
tanjung harapan baik ke Lisbon yang di perkirakan antara 40.000 dan 50.000 kw
setiap tahun pada awal abad ke 16 dan kemudian 60.000 – 70.000 kw setahun tidak
semua barang dagangan bisa di alihkan melalui jalan tersebut. Jadi kapal-kapal
portugis dalam hal ini berhasil mempertahankan monopoli rempah-rempah.
Pada abad ke 16 telah berkembang pula suatu
pelayaran baru yakni antara asia tenggara dan amerika, khususnya antara manila
dan akapulko di pantai barat meksiko. Sampai sekarang belum pernah d pelajari
berapa % barang dagangan yang di angkut setiap tahun lewat jalan transpasifik
berasal dari indonesia di lihat dari keseluruhannya mungkin tidak seberapa
karena orang-orang sepanyol memusatkan perhatiannya pada fhilipina dan
perdagangan sutra dan porselin dari negri cina.
Apabila kapal-kapal belanda secara kebetulan datang
sampai pantai barat Australia,bukanlah demikian halya dengan kapal-kapal bugis
dan makasar yang berlayar kepantai benua ini. Jalan pelayaran dalam negri dapat
dikonstruksikan dari posisi kerajaankerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya.
Melalui tiga jalan laut ini yakni pesisir utara jawa
pantai selatan Kalimantan via burnai dan mindanau akhirnya kapal-kapal tiba
dimaluku. Daerah menjadi incaran kapal-kapal asing karena menghasilkan pala dan
cengkeh besar kecilnya pengaruh ekspedisi itu telah mampu membuat Maluku
menjadi Bandar yang sangat penting pada masa itu.
B. Pola Pelayaran dan Perdagangan
1. Pemilik
Modal pelayaran dan perdagangan
Sultan agung dari Mataram (1613-1645) ketika
menerima utusan VOC, Rijckloff Van Goens, mengatakan bahwa ia bukan seorang
pedagang seperti Sultan Banten. Disini jelas ada perbedaan nilai antara
Kerajaan agraris yang penghasilannya terutama didasarkan atas hasil pertanian
dan hasil hutan, dengan kerajaan pesisir yang sebagian besar penghasilannya
tergantung pada perdagangan dan perlayaran. Meskipun kita tidak mempunyai bahan
mengenai semua negeri pesisir untuk membut generalisasi, dari sumber-sumber
yang tersedia kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada umumnya Raja-Raja negeri
pesisir bukan saja menarik keuntungan dari pajak perdagangan dan pelayaran
dibadar-badarnya, tetapi mereka secara peribadi turut mengambil bagian dalam
perdagangan dan perlayaran ini.
Menurut Tome Pires, Raja-raja pahang, kampar
Indragiri mempunyai kantor dagang di malaka, meskipun pada umumnya peran mereka
pasif. Rupanya raja-raja ini sendiri tidak memiliki kapal. Melalui
perwakilannya di malaka mereka mempunyai sahang dalam kapal dan perahu yang
berlayar dari malaka. Sistem partnership
demikian yang juga dikenal di eropa pada zaman ini dan disebut commenda berlaku dalam sebagian besar
perdagangan di sini. Kecuali sang Raja, pembesar-pembesar negeri lainnya pun
turut mengadu untung dalam berbagai usaha perdagangan dan pelayaran.
Disamping itu ada kapal-kapal malaka yang menjadi
milik penuh dari Sultan, dan dalam hal ini perdagangan dijalankan oleh seorang
saudagar yang bertindak atas nama Sultan. Menurut Pires, pada setiap jum yang
berangkat dari Malaka ada sebagian barang milik Sultan.
Sultan Muzafar Syah (1446-1459) memerintahkan supaya
dibuatkan kapal baginya, kemudian disuru berlayar dengan dagangannya yang
dititipkan kepada perdagang-perdagang. Pada waktu kota Malaka baru saja jatuh
ketangan Portugis, orang-orang Portugis berhasil menangkap kapal milik Sultan
yang membawah barang dagangan kepunyaan Sultan, antara terdiri dari kain
Koromandel ditaksir serharga kira-kira 12.000 sampai 15.000 cruzados. Juga terdapat muatan kain
kepunyaan pedagang-pedagang koromandel yang berdiam di Malaka.
Sultan Alaudin Syah dikatakan mempunyai harta yang
ditaksir sama dengan 140 quintal emas (8.824 kg). Sedangkan Mansur Syah menurut
perkiraan pires memiliki 100 quintal emas-emas ditambah dengan sejumlah besar
intan berlian dan ratna-ratna –mutu-manikam. Hikayat-hikayat kuno memuji-muji
kekayaan raja. Kekayan ini dipakai untuk membiayai pula pembangunan istana dan
masjid, dan untuk membiayai upacara-upacara kebesaran, tetapi sebagian juga
disisihkan sebagai investasi untuk usaha-usaha perbaikan dan perluasaan
pelabuan.
Seperti dikatakan tadi, golongan atas pun mengambil
bagian dalam perdagangan dan pelayaran ini. Nama orang kaya ( rangkaya,rangkayo
) di Sumatera dan Maluku yang diberikan kepada golongan terkemuka tidak diberi
begitu saja. Golongan inilah yang termasuk golongan yang berada, dan mereka
yang memiliki cukup harta untuk menginvestasinya dalam pelbagai usaha
perdagangan dan pelayaran.
Menurut peraturan yang berlaku di Sulawesi Selatan pada abad ke17
seperti yang telah dimodifikasikan oleh Amanna Gappa dan disetujui oleh seluruh
kepala orang Wajo pada waktu mereka mengadakan pertemuan di Ujungpandang sudah
tentu peraturan ini telah dikenal pada masa sebelumnya, tetapi baru pada zaman Amanna Gappa dirasakan kebutuhan untuk
menerbitkannya dalam satu buku undang-undang, yang masih berlaku pada tahun
1930-an diadakan pembedaan dalam lima jenis cara berjualan. Yakni menurut pasl
ke 7 :
1. Pertama
: dijudikan
2. Kedua : diperlacurkan
3. Ketiga : dipergunakan beristri
4. Keempat : diboroskan
5. Kelima : dipinjamkan
6. Keenam : dimadatkan
7. Ketujuh : diberikan untuk makan kepada ( yang
menjadi) tangungannya
2. Pelaksaan
Pelayaran dan Perdagangan
Pada tahun 1527 banten menduduki
Sunda kelapa, kota pelabuan terpenting dari kerajaan pejajaran. Nama Jayakarta
yang diberikan Sunda Kelapa setelah penaklukan itu, mengandung arti yang besar
bagi Banten. Sebagai pelabuan kerajaan Sunda yang pada waktu itu beragama
Hindu, maka kemenangan Banten terhadap Sunda Kelapa sekaligus mengubahnya dari darulharb menjadi Darul Islam.
Tetapi disamping faktor agama ini,
kemenangan Banten harus dilihat dari segi ekonominya. Banten pada waktu itu
telah berkembang sebagai pelabuan yang ramai, terutama setelah Malaka diduduki
Portugis, akan tetapi masih kalah jika dibandingkan dengan keramaian pelabuh
Sunda Kelapa. Dengan kemenangan ini tidak ada yang menghalangi Banten dalam
pertumbuhannya, dan pada akhir abad ke16 kedudukannya sebagai bandar terbesar
di sebelah barat pulau Jawa dan sekitarnya sudah tidak ada tandingannya.
Perubahan agama, politik dan ekonomi
pada waktu itu (bagi beberapa daerah prosesislamasasi telah berlangsung lebih
dahulu, bagi daerah lainnya seperti Makasar baru pada masa kemudian)
mengakibatkan pula perubahan-perubahan besar dibidang sosial. Seperti yang
diuraikan oleh Clifford Geertz dalam hal aristokrasi Tabanan dalam masa pancarobadalam
tahun 1950-an. Dalam cerita-cerita Kuno ada kisah tentang pangeran yang harus
hidup sebagai petani akibat kalah perang ( namun akhirnya ia berhasil mendapat
kedudukannya kembali ), maka tidaklah mustahil apabila dalam abad ke16 seorang Prince terpaksa mengembara sebagai pedder akibat pergolakan politik pada
waktu itu.
Pires yang menulis kira-kira 15tahun
sebelum Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, memberitakan hanya sejumlah kecil
saudagar yang beragama islam diperbolehkan masuk kerajaan Sunda karena
pemerintahan takut akan diperebutkan kekuasaan disini. Tetap Pires juga
mencatat bahwa, pada waktu pendudukan Sunda Kelapa, perdagang tersebut bebas
masuk kekota untuk berdagang. Petugas-petugas tersebut diatas digolongkan
sebagai “perwira” kapal. Dibawahnya lagi terdapat para tukang yang dapat kita
samakan sekarang “ bintara” kapal. Para tukang dikepalahi oleh tukang Agung
yang dibantu oleh tukang kiri ( untuk bagian lambung kiri ), tukang kanan
( untuk lambung kanan), tukang petak (
yang harus mengurus soal-soal mengenai ruang kapal, petak-petak tempat barang
), dan tukang tengah ( kerja ditengah kapal ). Disamping itu ada tukang gantung
layar tetapi yang belakangan ini berada langsung dibawah mualim angin.
Golongan paling bawah adalah awak
kapal ( dalam arti kata sempit ) atau anak kapal, dikepalahi oleh seorang
“mandor” yang disebut serang. Awak kapal ini terdiri dari orang banyak ( orang
merdeka ), orang abadi ( budak ), dan orang berhutan yang selama hutang belum
dilunasi bersastus sebagai “budak”. Adapula yang disebut orang turun penukang
yang yakni orang berhutang yang diperkerjakan oleh nakhoda tetapi masih
mempunyai wewenang tertentu dikapal kemudian adapula mudah-mudah kadet kapal yang ikut berlayar
untuk mencari pengalaman. Tugas mereka adalah mendampingi nakhoda jika ia ingin
turun kedarat
Untuk menjadi nakhoda di perlukan pengalaman
berlayar dari kebijaksaan untuk memimpin masyarakat kapal dengan baik Kodex
Ammanah Gappa ( pasal 6) menyebut 15 syarat yang harus di penuhi seorang
nakoda. Syarat pertama menyatakan “bila ada senjata berat dan ringan dengan
makanannya ia harus mampu mempersenjatai perahunya . kedua bila perahunya kuat,
jadi ia harus tau akan kwalitas dan kapasitas perahunya. Ketiga bila ada
modalnya (untuk berdagang ). Keempat, bila rajin dan teliti dalam pelayaran .
syarat kelima adalah bahwa ia dapat menguasai kelasinya. Yang keenam ia dapat
membela kelasinya di dalam kebenaran . ketujuh bila ia sudi menerima nasihat –
nasihat orang lain . kedelapan bila jujur terhadap kelasinya dan juga kepada
orang lain dan terhadap Tuhan . sebagai syarat kesembilan di katakana bahwa ia
harus memandang kelasinya sebagai anak sendiri . yang kesepuluh , ia tidak
jemu-jemu memberi pelajaran mengenai alat-alat pelayaran . kesebelas ia harus
penuh dengan kesabaran . yang kedua belas , ia harus di segani . syarat ke tiga
belas mengatakan bahwa ia bersusa payah mengurus dagangan kelasinya, dan yang
ke empat belas ia harus mau menongkosi perahunya. Syarat yang ke lima belas ia
harus mengetahui benar-benar jalan (pelayaran )
Syarat bagi perahu pengganti ini
berat juga, karena harus di cari perahu yang sama, artinya sama jenisnya dan
sama suasananya, serta sama sifat kelakuan nakhodanya (pasal 4). Seperti dalam
hukum laut melayu, hukum Amanda gappa menentukan bahwa nahkoda jika perlu harus
bertindak sebagai hakim. Kalau ada perselisihan antar sesama kelasih ia harus
menjadi penengahnya tanpa di bawah ke pengadilan (pasal 2). Kesukaran yang
terjadi di luar (selama berlayar) tidak boleh di bawa kepada penguasan negri
(pasal 11 ).
Di tetapkan pula bahwa kalau nahkoda
salah menentukan sewa perahu untuk muatannya, maka kesalahan itu tidak boleh di fikirkan kepada kelasih (pasal 2).
Pengambilan tempat (petak) untuk muatan juga mempunyai peraturan tertentu dalam
hukum laut melayu . dalam hal ini nahkoda dan pemilik kapal mendapat prioritas.
Berikut adalah kiwi yang boleh mengambil petak , tetapi tidak boleh melebihi 7
atau 8 petak. Ada 3 macam cara orang kiwi mengambil petak :
1. Membeli
hak untuk mengisi sebagian dari ruang kapal
2. menambah modal nahkoda dengan member sejumlah
uang sehingga hak untuk mengambil petak ini di sesuaikan dengan besar kecilnya
jumlahnya, dan
3. Dengan
mengambil 7 atau 8 petak sebagai bagiannya.
Dalam hukum melayu awak kapal lainnya tidak berhak
mengambil petak, tetapi mereka berhak menerima sebagian dari muatan untuk
“orang banyak dua bagian untuk orang abdi “ satu bagian. Hukum laut
melayu mengatur pula urutan dari pada perdagangan . kalau tiba di pelabuhan
nahkoda mendapat prioritas untuk berdagang ( menjual barang miliknya selama 4
hari berikut giliran pada para kiwi yang di beri kesempatan berjual/beli selama
dua hari, kemudian baru awak kapal di perbolehkan berdagang. Harga yang di
minta tidak boleh melebihi harga yang di minta nahkoda, dan jikalau jual/beli
di lakukan tanpa pengetahuannya maka ia berhak menyita barang bersangkutan
dengan membayar harga penjualannya. Hal ini terutama berlaku dalam hal
perdagangan budak dan barang-barang mewah . tetapi kalau budaknya wanita, sang
nahkoda tidak usah membayarnya melainkan ia boleh mengambilnya begitu saja.
3. Jenis
barang ekspor dan impor
Jarak yang harus di tempuh perahu
dan kapal sering memakan waktu. Kapal harus menunggu angin yang baik untuk
perjalanan pulang, berarti harus menunggu angin telah membalik arahnya, dengan
kata lain harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Jikalau transaksi niaga
terlambat di jalankan sehingga tidak sempat menggunakan angin musim tahun ini
terpaksa kapal menunggu sampai tahun berikutnya. Banyak resiko yang di hadapi
pedagang yang berlayar. Angin ribut, bajak laut dan segala macam rintangan
harus di atasi sebelum berhasil mendapatkan keuntungan yang lumayan.
Demikianlah di simpulkan Van Leur dalam karyannya yang terkenal tentang pola
perdagangan Asia di masa lampau.
Tetapi penelitian Milink – Roelofsz
menunjukan bahwa pada waktu itu bahwa barang – barang dagangan dalam jumlah
besar-besaran pun telah di angkut dalam perjalanan yang jauh-jauh , meskipun di
akui bahwa semakin jauh perjalanannya semakin lux jenis barang yang di bawah
dalam lontaran perundang-undangan amanah gappa di sebutkan jenis dagangan yang
di butuhkan ruangan luas, yakni beras , garam , kapas , rotan, tembakau bakala (untuk di pakai makan sirih)
gambir , agar-agar, dan kayu
Pada awal abad ke – 16 Banda
mengimpor kain dan tenunan halus dari negeri-negeri asia di sebelah barat ,
yang di bawa oleh kapal-kapal portugis menurut catatat pires pedaganga-pedagang
kecil dari pulau jawa dan melayu membawa tenunan kasar, Katanya tetapi Raja
gersik sering memborong kain-kain halus dan sutra yang di masukkan ke bandarnya
dengan maksud untuk mengimpornya lagi ke Banda dan tempat lain di Maluku.
Disini kain halus tersebut tidak hanya di perlukan sebagai pakaian Raja dan
Keluarganya serta kaum bangsawan lainnya, tetapi di simpan sebagai harga
bersama barang lain, seperti gong tembaga, gading dan tembikar halus.
Peran perahu buatan Kei juga di
perdagangankan di Banda . juga barang-barang mewah di datangakan dari daerah
sekitarnya, seperti emas dari Sulawesi utara dan burung Cedndrawasi dari Irian.
Tetapi yang terpenting adalah perdagangan rempah-rempah kususnya Pala dan
Cengkeh . ini di datangkan dari pulau-pulau di sebelah Utara, cengkeh dari
Maluku Utara Pala dari Ambon, Seram dari pulau-pulau sekelilingnya.
Angka – angka yang di beri pires
mengenai hasil pala sangat tinggi. Untuk bunga pala mencapai angka 500 bahar ,
untuk pala 6.000 sampai 7000 bahar. Meiling – Roelofsz berpendapat angka
setinggi itu hanya bisa di capai Banda pada masa panen banda yang terjadi
sekali dalam tujuh tahun. Demikian pula angka yang di berikan Reyer Cornelisz,
seorang pelaut Belanda.
Tahun 1603 perbandingannya menjadi 1
: 10 . harga cengkehpun jatuh di bandingkan dengan bunga pala. Kalau pada awal
abad ke – 16 nilainya 1:1 , pada tahun 1603 di laporkan bahwa 7 satuan bunga
pala berharga 3 dan 3,5 cruzado ,
tetapi pada waktu itu harganya berhubung dengan adanya persaingan antara orang
portugis dengan orang asia. Pegawai kompeni Belanda pada abad-abad kemudian
sengaja mengadakan ekpedisi-ekstirpasi pohon rempah-rempah supaya tidak lolos
dari pengawasannya dan di jual keluar sehingga bisa menurunkan harga .
Di Malak ada syahbandar yang
khususnya mengurus kepentingan orang-orang
jawa,Maluku,banda,Palembang,Kalimantan,dan Philipina. Tetapi laporan-laporan
tentang pelayaran orang banda kurang baik.
Berlayar lebih ke Utara kapal tiba
di Ternate dan Tidore, tempat penghasil cengkeh. Di pelabuhan ternate, kata
pires , hanya dua atau tiga kapal yang dapat berlabu sekaligus, sedangan
pelabuhan Tidore penuh karang sehingga menyulitkan kapal yang berukuran besar
untuk merapat. Tetapi karena cengkeh hanya terdapat di Maluku Utara ini ( baru
pada akhir abad ke – 18 pohon cengkeh di selundupkan ke luar dan ditanam di
Afrika Timur dan baru pada pertengahan abad ke – 19 Belanda menghapuskan
Monopoli rempah - rempah Maluku dan mengizinkan penanamannya di luar Maluku ),
Maluku utara penanaman rempah-rempah
lebih di pentingakn sehingga bahan makanan harus di datangakan dari luar,
misalnya beras dari Sulawesi. Pedagang China yang sudah mengenal Maluku sejak
dahulu datang membawa tenunan, perakm, gading, manic-manik, dan piring mangkok
buatan China yang biasannya berwarna biru.
Di Kalimantan pelabuhan yang paling
terkenal pada waktu itu adalah Brunai (seluruh pulau di kenal pula dengan nama
ini dan jadi Borneo menurut ucapan
dan ejaaan , Portugis ).di sebelah tenggara kota-kota yang terkenal adalah lawe
dan tanjung pura, sebelum banjar masin muncul sebagai pusat kerajaan. Hubungan
dagang di adakan terutama dengan kota-kota di pantai Utara Jawa.
Emas,Intan,Bahan makanan,dan hasil hutan seperti Damar dan kayu-kayuan di
ekspor dari lawe dan tanjung pura juga perahu buatan Kalimantan laku di pulau
jawa.
Kota-kota Kalimantan ini bagi
pesisir utara jawa sehigga beberapa kali di kirim ekpedisi untuk mendudukinya
pada abad ke – 16 dan awal abad ke – 17. Sumber-sumber dari masa ke mudian
lebih banyak menyebut hubungan dengan sambas, Banjarmasin dan suka dana, suatu
petunjuk bahwa lawe dan tanjung pura telah menjadi kurang penting.
Bagi bagian barat Indonesia bahan
ekspor yang terpenting adalah Lada. Kapal-kapal asing mengunjungi pasai ,
pidie, jambi,Palembang,lampung (tulang bawang dan sekampung), kota-kota pantai
barat sumatera seperti pariaman, tiku, barus,dan di jawa barat,banten dan sunda
kalapa. Menurut perkiraan tome’ pires , pasai menghasilkan 8000 sampai 10.000
bahar setahun malahan kalau sedang panen besar bisa sampai 15.000. angka-angka
yang tinggi di berikan pula oleh empoli yang mencatat bahwa pada waktu itu
(awal abad 16) 60.000 cantaar di
ekspor dari sini
Bangka di sebut sebagai pengekspor
bahan makanan , hasil hutan,katun,dan besi,tetapi mengenai timah belum di
singgung pada zaman pires. Sedangkan di pantai barat sumatera bahan ekspor
kecuali lada adalah emas, kelambak,kapur barus,kemenyan.
“Barang” dagangan yang penting dan
diekspor pada zaman ini adalah budak belian. Mereka diperlukan di istana raja
dan rumah bangsawandan hartawan dan juga diperkerjakan sebagai buruh kasar di
pelabuhan dan sebagai pendayung kapal, terutama kapal perang. Orang bisa
menjadi budak sebagai akibat kekalahan dalam perang, tetapi juga sebagai
tebusan hutang yang tidak dapat dibayar.Dalam hal ini adat biasanya mengatur
bahwa kedudukan sebagai budak hanya sementara sampai utang dilunasi. Ada pula
yang jatuh menjadi budak karena tindakan melanggar adat, akan tetapi biasanya
budak-budak diperoleh dengan mengadakan ekspedisi khusus daerahb”luar”. Menurut
hukum Amanna Gappa (pasal 14), jikalau seorang yang berutang telah habis hartanya
karena dijadikan pembayaran utang padahal jumlah ini belum lagi cukup untuk melunasinya, maka
ia meperhambakan dirinya untuk menutup kekurangannya. Hal ini dinamakan riekke ponna, yaitu “pohon dicabut
beserta akarnya....”
Dijawa Timur kerajaan Balambangan
terkenal pula sebagai penghasil budak, laki-laki maupun perempuan. Perdagangan
budak terdapat pula di Madura yang mendatangkannya dari Nusatenggara ke Malaka
( disamping kayu cendana, kayu merah dan belerang ). Budak-budak yang dijual
oleh kapal-kapal Bugis dan Makasar berasal dari pembajakan di laut maupun di
daerah pedalaman ( Toraja ).
Orang Portugis pun ikut serta dalam
perdagangan budak disini. Ada berita tentang ekspor budak dari Panarukan ke
Malaka yang pada waktu itu diduduki Portugis. Perna kapal Belanda menangkap
jung Portugis yang berlayar dari Makasar dengan membawah 150 bahar pala, bunga
pala, dan cengkeh, beserta jumlah budak laki-laki dan perempuan. Kompeni
Belanda juga memerlukan tenaga budak dalam usahanya, misalnya untuk perkebunan
pala di Banda yang diduduki VOC sejak 1621. Budak ini didatangkan dari seluruh
tempat di mana VOC mempunyai perwakilannya, dan orang ini kemudian menjadi
penduduk..”asli” Banda.
4. Tempat
Penghasilan Barang Perdagangan
Perdagangan internasional pada waktu
itu terutama berkisar pada perdagangan rempah-rempah. Jalan perlayaran yang
“gemuk” dalam jaringan maritim Nusantara pada waktu itu jelas memperlihatkan
sebuah garis yang menghubungkan daerah penghasil rempah-lada di Sumatera dan
Jaw, pala di Maluku Tengah, cengkeh Maliku Utara.
Bahan ekspor lainnya yang terpenting
ialah kayu-kayuan dan hutan seperti damar, madu dan sebagainya. Kayu cendana di
Nusatenggara, kayu gaharu dan kelembak dari Sumatera Kalimantan, kayu besi dan
kayu hitam di Sulawesi dan Maluku kayu jati dari Jawa. Menurut Tome Pires, pada
waktu itu Pariaman belum menghasilakan lada, tetapi kemudian sumber ada
menyebutkan kedua tempat itu sebagai penghasil lada.
Menurut sebuah sumber dari 1616,
dalam bulan Februari dan Maret bilaman musim hujan sudah memungkinkan
sungai-sungai dilalui perahu, maka penanaman lada datng dengan perahu membawa
hasil perkebunannya. Orang-orang Cina yang telah menunggu kedatangan lada ini
memindahkan kampungnya lebih ke Selatan kota Banten agar supaya bisa mencegat
perahu lada yang beru turun dari pedalaman dan memborongnya semua.
Lodewycksz mencatat bahwa pada waktu
jung-jung Cina tiba di Banten, harga lada sudah naik dua kali. Oleh sebab itu
penting sekali untuk mendapatkan lada terlebih dahulu sebelum harga melonjak
semakin tinggi. Pada tahun 1619 Belanda menguasai Jayakarta dan mengganti nama
menjadi Batavia (Betawi). Persaingan VOC yang didukung oleh blokade pelabuhan
Banten menyebabkan kapal-kapal yang mengunjungi Banten semakin berkurang, dan
pada tahun 1634 menurut arsip VOC sebagian besar perdagangan Banten telah
berpindah ke Batavia.
Pada pola perdagangan dan perlayaran
yang berlaku disini orang-orang Eropa Barat datang membawah unsur-unsur baru
yang kemudian mengubah keadaan politik dan ekonomi Indonesia. Pusat-pusat
perdagangan menjadi sasasran kapal-kapal Eropa. Terutama Kompeni Belanda
memegang peran penting, karena mereka berhasil memaksakan sistem monopoli
dagang yang ditunjang oleh modal yang besar,organisasi yang baik, persenjataan
serta teknologi perkapalan yang lebih maju. Menurut Geertz, perniagaan pribumi
( Jawa), seperti halnya pertaniannya, adalah padat karya, dengan sistem
penentuan hargai yang dicapai dengan tawar-menawar, berdasarkan hubungan
pengkreditan yang khusus antara kelompok perdagangan dalam urutan hierarki (
dari pedagang besar ke pedagang kecil ke pedagang lebih kecil dan seterusnya ),
serta ikut serta lebih banyak orrang dalam kesempatan membagi-bagi risiko dan
laba berniaga.
Barter serupa ini masih dijalankan
pada abad ke-20, sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa pada abad ke-16 dan 17
sistem ini juga dilakukan dibeberapa tempat,
Perdagangan demikian oleh orang-orang Tobelo (Halmahera utara) disebut “potage tagal vuru “ yang dibedakan dari
perdagangan biasa yang disebutnya “votage
tagali damaroi” perdaganagna secara diam-diam dan tersembunyi ini merupakan
sebab utama dari lambannya proses integrasi dan akulturasi atau suku yang
sebenarnya sudah lama mengadakan hubungan dagang.
C.
Pelabuhan
1. Letak
dan fungsi pelabuhan
Sejauh-jauh kapal berlayar sekali
kelak ia masuk pelabuhan. Tetapi pelabuhan yang 1 berbeda dengan pelabuhan
lain. Ramai tidak nya pelabuhan tergantung dari berbagai faktor diantaranya
yang penting sekali ialah faktor ekologi. Pelabuhan bukan asal saja tempat
berlabuh tetapi, tempat dimana kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung
dari ombak besar, angin dan arus yang kuat (seperti yang tersirat dalam arti
kata harbour, haven dan lain-lain.
Tempat yang baik adalah pada sebuah
sungai, agak jauh kedalam tetapi dalam hal ini lebar sungai membatasi
perkembangan pelabuhan bersangkutan, oleh sebab itu banyak pelabuhan terletak
di muara yang agak terbuka, atau / meskipun kurang terlindung/ di dalam sebuah
teluk . Dalam jaringan lalu lintas di sebuah negri kepulauan seperti indonesia,
fungsi pelabuhan ialah sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat.
Pada zaman dahulu ketika komunikasi pedalaman lebih banyak menggunakan sungai,
maka lokasi pelabuhann dalam Stuarium banyak untung nya. Melalui sungai penduduk
pedalaman dapat mengangkut hasil sawah dan kebun nya ke pantai tanpa memerlikan
tenaga yang banyak.
Sebaliknya sungai menyebabkan
semakin mendangkalnya pelabuhan karena pengendapan tanah yang di bawahnya dari
daerah pegunungan. Pelabuhan harus mempuyai daya penarik yang besar bagi
kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai dimana hasil hutan dari
pedalaman diperdagangkan dan dimana bahan makanan dan air minum di sediakan
untuk komsumsi di kapal. Ada korelasi antara besarnya volume perdaganga
(termasuk persedian bahan makanan) dan prekuensi kunjungan serta jumlah kapal
yang singgah disuatu pelabuhan. Gusung pasir dan batu karang, penghalang
pelayaran yang penting ditas dengan mengirim kan sampa-sampan kecil ke
pelabuhan asal saja suasana bandar bisa menarik pedagang-pedagang dengan
harapan memperoleh banyak keuntungan dari perniagaan setempat.
Misalnya kapal-kapal berusaha masuk
sungai musi untuk mengunjungi kota palembang. Pada abad ke 15, menurt berita
mahuan, kapal-kapal dari segala penjuru datang kesini. “mula-mula mereka tiba
di muara sungai yang berair tawar kemudian masuk selat P’eng-chia, kapal di
tambatkan di darat dimana terdapat banyak menara (=tiang ?) batu, dengan
menggunakan perahu kecil mereka memasuki muaranya, dan dengan demikian mereka
tiba di ibu kota.
Pelabuhan surabaya paada abad ke 15
demikian pula. Di muara sungai kapal-kapal besar dari cina menui kesukarann
untuk maju, sebab itu di pakai perahu kecil yang masih harus menempuh 20 li
sebelum tiba di tempat tujuannya.
Bagi kapal yang hendak mendekati
kota dan memasuki dengan maksud jahat, masih ada apenghalang yang penting yang
harus di hadapi, yakni tembakan dari benteng yang mengawasi lalu lintas di
muara sungai. Pada tahun 1599 benteng ini belum seberapa penting tetapi pada
zaman iskandar muda, menurut laporan beaulieu (1621), benteng ini terdiri dari
sebuah bastian besar yang bundar yang menguasai sungai dengan beberapa meriam
yang menjaga “dua diding benteng yang juga di lobangi untuk beberapa mulut
meriam yang menutup pintu pelabuhan. “ apabila davis memerikatan pada tahun
1599 bahwa ia belum pernah melihat benteng sejelek ini (a worse cannot be
cieved...”) beaulieu malah menyebut benteng aceh suatu bangunan yang baik
sekali.
Behadapan dengan benteng ini raja
mendirikan bangunan sebagai tempat peristirahatan yang di kelilingi dengan
terusan didepan terusan ini ada pula sebuah benteng kecil. Di dalam sebuah
benteng ada sebuah masjid selanjutnya di katakan dii dekat pelabuhan terdapat
rumah beacukai dimana terdapat sebuah balai, tempat para tempat para pedagang
dan luar negeri yang datang kesini harus menghadap. Ruang ini berada di bawah
kekuasaan laksamana yang bertindak pula sebagai wali kota yang juga memiliki
sebuah pasukan yang terdiri dari kaum kebiri.
Bentuk pantai adlah faktor laen yang
mempengaruhi pelabuhan keadaan bumi membagi kepulauan indonesia dalam dua
bagian, di sebelah barat kerak bumi lebih tua dan lebih mantap sehingga
memperlihatkan bentuk pantai yang rendah, berbeda dengan sebelah timur yang
masih kurang stabil buminya di mana panta-pantainya mempuyai relof yang lebih
bevariasi.
Faktor alamiah yang lain adlah
iklim. Disini laut tidak pernah beku seprti daerah kutub, kabut jarang
menghalangi pelayaran sedangkan taipun atau tornado tidak di kenaltetapi adanya
angin musim menentukan pelayaran setempat dan mempengaruhi frekuensi kunjungan
ke pelabuhan, misalnya pelabuhan manado yang saangat berbahaya di datangi pada
musim angin barat.
2. Organisasi
pelabuhan
Begitu kapal memasuki
pelabuhan, segera sahbandar datang mengunjunginya. Pelabuhan yang banyak di
datangi kapal dan pedagang asingmemerlukan lebih dari seorang sahbandar dimalaka pada masa jayanya terdapat sampai 4
orang syahbandar yang bertugas. Syahbandar yang menempati kedudukan pertama
adalah syah bandar yang memperhatikan kepentingan orang-orang dari jawa,
maluku, banda, palembang, brunei ( dan kaliamantan), dan pulau-pulau fhilipina.
Untuk orang-orang cina dan pedagang dari pulau-pulau lieu-kieu ada syahbandar
khusus.
Tugas utama
masing-masing syah bandar adlah mengurus dan mengawasi perdagangan orang-orang
yang di bawahinya, termasuk pengawasan dari di pasar dan gudang, ia harus
mengawasi timbangan, ukuran dagangan, dan mata uang yang dipertukarkan. Apabila
tidak ada persesuaian paham antara nakoda dan para saudagar di salah satu
kapalyang berasal dari “ wilayah ” syah
bandar bersangkutan, maka ia harus menjadi penengahnya. Oleh sebab itu
syahbandar biasanya diangkat dari kalangan saudagar-saudagar asing itu sendiri.
Pejabat yang
mengepalai para syahbandar adlah tumenggung yang berkuasa atas kota dan pelabuhan (malak). Dalam urusan
dagang kedudukan nya sangat penting karena ialah yang harus menerimabeamasuk
dan bea ekspor dari barang yang di perdangkan, dan ialah yang mengadili
perkara-perkara yang menyangkut orng-orang asing yang hampir semua terdiri dari
pedagang. Sedangkan kapal-kapal kerajaan ( armada kapal perang) berserta
awaknya berada dibawah perintah laksamana pada waktu perang, peranan laksamana
lebih menonjol.
Di pelabuahn banda
aceh (yang tidak tanggung-tanggung di dalam hikayat ceh disebut juga banda
makmur) para syahbandar berserta para karkun dan pejabat beacukai lainya
merupaka pegawai balai furdan, yakni jawatan pelabuhan yang dikepalai oleh
orang kaya srimaha raja lela dan penghulu kawal, yang di sebut pertama mengusai
urusan sipil dan yang kedua urusan militer.
Pelabuhan japara yang
baru mengalami pertumbuhan pesat pada masa kerajaan demak rupa nya hanya
mengenal seorang syahbandar. Sebuah studi mengenai pelabuhan japara pada abad
ke 17 83 jadi pada waktu
japara menjadi pelabuhan yang terpenting dari kerajaaan mataram, hanya menyebut
seorang syahbandar saja. Ia mengepalai pabean yang memungut beacukai untuk
setiap barang yang masuk / keluar pelabuhan.
Pelabuahan gersik dan
jaratan merupakan pelabuhan kembar yang
terletak berada di muara sungai. Menurut sumber belanda, syahbandar
berkedudukan di gersik sedangkan di jaratan di tempatkan seorang syahbandar
muda. Pada tahun 1625 syahbandar muda di jaratan dikenal pula dengan nama ince
muda, juga seorang cina atau keturunan cina istrinya seorang putri beng kong,
pemimpin penduduk cina dibetawi pada waktu itu. Disini kita melihat gejala yang
menarik seperti yang dikemukakan oleh meilink- roelsz, yaitu pergeseran
kekuasaan di jawa yang semakin berpindah ketang kompeni belanda yang berpusat
di batavia, mulai mendorong pedagang cina mencari afiliasi dengan pedagang
sebangsa nya yang bertempat tinggal di kota pusat voc itu.
Disamping penghasilan
dari beacukai, syahbandar di banten mendapat sebagian dari uang pajak untuk
berlabuh ( ruba-ruba). Biasanya jumlah yang harus dibayar seluruhnya ( pajak
berlabuh dan beacukai) di tetapkan sekaligus untuk setiap kapal, dua pertiga
untuk raja dan sisanya untuk syahbandar tindakan-tindakan syahbandar dan mangku
bumi ini sudah tentu mendapat perhatian khas dari kompeni belanda yang tujuanya
ialah memperoleh monopoliberdagang. Beberapa kali mereka berusaha untuk
mendapat hak preorias berjual beli di banten, tetapi tidak berhasi. Pada tahun
1616 mereka menempuh jalan baru, syah bandar didekati dengan hadiah-hadiah,
juga untukk juru tulis pegawai kompeni membawa hadiah. Tetapi usha ini juga
gagal. Tiga tahun kemudian jayakarta diduduki oleh voc dan sejak itu kompeni
menarik pedagang-pedagang ketempat ini. Walaupun banten mulai mundur, namun
masih lebih dari 8 windu banten bisa bertahan smapai belanda menguasai
perdagangan di pelabuhan ini.
3.
Sistem pemungutan beacukai
Bagi
kerajaan-kerajaan maritim indonesia pelabuhan merupakan pintu gerbang bahan-bahan
ekspor dan import. Disin harus impor dan ekspor dapat diawasi dan di kenakan
bea seperlunyaa oleh sebab itu pelabuhan merupakan sumber penghasilan yang amat
penting bagi kerajaan.
Juga mengenai
pemungutan beacukai tome tires lebih banyak memberi keteranagan tentang malaka
dari pada pelabuhan yang lain. Para pedagang yang baru saja tiba di malaka
harus membayar beacukai lebih dahulu sebelum ia di perbolehkan menjual
dagangannya. Jumlah yang harus dibayar tergantung pada ukuran dan timbangannya,
oleh sebab iti barang-barangnya
harus di timbang dan di ukur
dahulu berdasarkan timbangan dan ukuran yang berlaku di malaka. Ada tarif
tersendiri untuk masing-masing jenis barang, sedangkan jumlahnya berbeda
menurut negri asalnya.
Selain membayar
beacukai, pedagang-pedagang harus
membayar pula barang persembahan untuk raja, bendahara, temenggung dan
syahbandar yang dibawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2%
dari nilai barang yang dimasukkan, besarnya di tetapkan oleh syahbandar yang
bersangkutan. Pwraturan ini sangat baik karena pada umumnya syahbandar dari
suatu negri tertentu tidak akan menuntut jumlah yang berlebih-lebihan dari
pedagang senegerinya. Namun ada kalanya sejumlah yang lebih dari yang di
haruskan, dengan maksud agar syahbandar bisa “membujuk” raja dan
pegawai-pegawainya supaya perdagangannya lebih berhasil. Kalaw mau menetap di
malaka pedagang-pedagang di sebelah barat, termasuk orang-orang melayu harus
membayar pajak 3%, di samping itu mereka harus membayar 6% pajak kerajaan (3%
untuk orang melayu).
Bagi negeri-negri di
bawah angin lain lagi peraturannya. Para pedagang dari sini tidak perlu
membayar cukai atas barang dagangan yang dibawahnya, mereka hanya harus membawa
persembahan untuk raja dan pegawai-pegawainya. Nilai persembahan itu besar juga
, bila di hitung, sama harganya dengan beacukai yang di bayar oleh pedagang
dari sebelah atas angin. Adapun besar hadiah yang harus di serahkan itu di
tentukan oleh pegawai kerajaan Malaka.
Tehadap barang-barang
yang di keluarkan dari malaka tidak di pungut bea ekspor, baik dari kapal-kapal
yang menuju barat maupun ke timur. Akan tetapi
mereka di wajibkan membayar ongkos timbangan 1% untuk semua barang yang
masuk dan ke luar. Orang yang berhat memungutnya ditunjuk oleh raja sendiri. Disamping
itu ada jenis pajak yang walaupun tidak langsung berhubungan dengan peagang
asing, masih banyak mempengaruhi perdagangan di negeri malaka. Pajak ini di
pungut sebagai imbalan izin berdagang di jalanan, di pasar, di kedai-kedai kecil yang terdapat di
atas jembatan, dan di jalan raya di depan rumah-rumah. Izin ini merupakan sumber penghasilan bagi
pegawai-pegawai malaka, tetapi sebagian dari uang penerimaan di pakai juga
membiayai rumah sakit bagi fakir miskin.
Study Denys Lombard
mengenai aceh dan zaman iskandar muda juga memberi beberapa keterangan sistem
pemungutan pajak disini. Walaupun kita tidak mengetahui dengan tepat pada waktu
mana peraturan-peraturan mulai diberlakukan, ada beberapa jenis pajak yang yang
disebuttkan dalam adat aceh, yakni:
1. Adat
cap atau adat lapik, di bayar dalam bentuk barang atau dengan uang untuk
memperoleh “cap” yaitu izin raja untuk berlayar.
2. Adat
kain, kain segulung ( sekayu ) harus di beri oleh pedagang-pedagang dari india
dan eropa pada waktu mereka mendapat adat cap.
3. Adat
kainyang kedalam, yaitu kain yang diberikan untuk istana.
4. Adat
memohon kunci, untuk dapat menurunkan barang-barang dari ruang kapal sesudah
pajak-pajak lainnya di lunasi.
5. Hadiah
langgar, untu izin berlabuh (sebesar 120 tahil 10 mas bagi sebuah kapal
bertiang tiga dari gujarat.
6. Adat
pengawal, untuk orang-orang yua-tua bangsa aceh yang naik ke kapal untuk
menjaganya selama kapal berlabuh.
7. Adat
hak ul-kalam, yakni semacam bea registrasi.
Menurut
dokumen-dokumen VO, pajak yang harus di penuhi
rakyat diserahkan dalam bentuk persembahan rempah-rempah kepada raja.
Pegawai-pegawai yang bertugas untuk
mengumpulkan cengkeh ini mendapat sebagian dari hasil. Dikatakan pula bahwa
rakyat harus membeli kain dan barang-barang keperluan lainnya dengan harga yang
tinggi yang di tempatkan oleh raja. Di samping itu mereka harus bekerja
pendayung kora-kora sehingga tidak banyak waktu yang tersisa untuk melakukan
pekerjaan di kebun. Penghasilan rakyat dari perkebunan cengkeh semakin kecil
sehingga pohon cengkeh di biarkan begitu saja. Mereka lebih suka menangkap ikan
atau menanam bahan maakanan karena untuk penghasilan karena untuk penghasilan
ini tidak di pungut biaya.
Jadi pada abad ke-17
sudah nampak gejala-gejala kemunduran dalam penanaman cengkeh yang bersumber
pada tindakan-tindakan pemerintah setempat. Keadaan ini di tambah dengan
tindakan-tindakan VOC untuk menebang pohon-pohon cengkeh secara besar-besaran,
pengarahan orang untuk pekerjaan di benteng di kota-kota dan rorehe sebagai
rodi (semacam pajak tenaga ), membuat suasana semakin parah sehingga pada abad
ke-18dan 19 maluku mengalami kemunduran total. Hak monopoli rempah-rempah di
maluku tetap di pertahankan belanda dan baru di hapuskan pada pertengahan abad
ke-19.
Dari gambaran yang
diberikan mengenai pelayaran dan perdagangan dalam masa ini suatu hal yang
menyolok ialah bidang ini masih amat kurang diketahui. Sumber-sumber yang telah
di pelajari tidak memberi keterangan tentang seluruh kepulauan indonesia, dan
data-data yang ada tidak selalu memberi keterangan yang lengkap. Di perlukan
suatu studi yang lebih mendalam dalam mengenai lebih banyak sumber sejarah
untuk dapat menungkapkan sejarah maritim di indonesia dengan lebih jelas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pola pelayaran dan perdagangan pada
masa itu masih menggunakan angin yang telah dikenal sejak abad ke 1 . Para pedagang menggunakan arah
mata angin untuk sampai ke Indonesia atau Nusantara dulunya dan melakukan perdagangan dengan para
penduduk lokal dengan menggunakan kapal yang beragam dan kemudian menikah
dengan anak para syahbandar . Mereka melakukan asimilasi dengan penduduk sambil
menyebarkan agama . Jadi mereka dapat menyatu dengan penduduk .
B.
Saran
Seharusnya lebih memperhatikan
sejarah kemaritiman Indonesia jangan
sampai dikalahkan dan tergusur oleh kemajuan zaman dan IPTEK .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar